“Mau jadi apa, nduk?” Bukan sekali dua kali kerabatku bertanya seperti ini. Waktu kecil, aku jawab sekenanya saja; jadi desainer, penari, seniman, hingga ilmuwan. Kadang memilih untuk tidak menjawab, atau sekadar mengatakan tidak tahu. Sayangnya, kali ini ada PR yang harus dikumpulkan besok. Jelas sekali aku tidak bisa mengarang jawabanku.
Hari menunjukan pukul 4 sore, murid yang beraktifitas sudah tidak sebanyak biasanya. Palingan anak-anak kelas 5 dan 6 yang masih ada di sekolah. Aku sendiri menunggu jemputan sambil menyicil PR hari ini.
“Lho Nal, belum pulang?”
Aku menoleh, menemukan salah satu teman sekelasku berdiri di gerbang, Wulan. “Belum, Lan.”
“Lagi nunggu dijemput? Udah sore banget lho ini, Na.”
Aku mengangguk. Wulan kini berjalan ke sampingku. Matanya berbinar melihat kertasku yang masih kosong. “Belum ada ide ya Nal? Mau kubantu ga? Daritadi mau cerita soal cita-citaku tapi engga nemu teman yang bisa diajak cerita, nih.”
Senang sekali rasanya ditawari begini. Wulan termasuk golongan anak berprestasi, jauh dibandingkan aku, Nala, siswi biasa di kelas 5D yang biasa saja. “Boleh banget, aku bener-bener engga kepikiran soalnya!”
Nala mengangguk-angguk riang dan langsung duduk di sampingku. “Cita-citaku mau jadi astronot karena mereka menjelajah alam semesta! Bayangin deh Na, kamu bisa menjelajahi tempat yang sangat luas kalua jadi astronot, bisa singgah di planet juga.”
“Menurutku cocok banget sih, soalnya kelompokmu buat miniatur tata ruang angkasa paling bagus kemarin. Waktu itu sampai dipajang di pameran sekolah kan?”
“Iya dong!” Wulan tersenyum bangga. “Kalau kamu melakukan apa yang kamu suka, pasti bisa menghasilkan yang terbaik! Makanya aku bisa unggul waktu materi sekolah bahas astronomi. Kalau kamu sukanya apa?”
Aku agak bingung menjawab pertanyaan satu ini. “Aku suka hewan sih, ibuku dokter hewan tapi bekerja di bidang peternakan, jadi aku kurang tertarik. Sukanya sama hewan lucu kayak anjing dan kucing.”
“Nah, cocok tuh kalau kamu jadi dokter hewan juga! Kamu pernah bayangin rasanya jadi dokter hewan engga?”
Ringisan gugup tercipta di wajahku. “Aku pernah sih bantu-bantu ibu sedikit kalau beliau obati kucing tetangga atau temennya. Pernah juga ibu obati anjing room, tapi sekarang udah enggak ada. Kucing-kucing yang kubantu rawat juga engga tertolong, jadi aku engga seberapa yakin mau jadi dokter hewan…”
Wulan menipiskan bibir. “Walaupun cuma hewan, pasti susah kalau lihat mereka mati, apalagi kalau udah berusaha diobati sih, jadi wajar aja kalau kamu ragu.”
“Nah kan,” sahutku setuju. “Tapi sebenarnya kasihan sekali jadi hewan itu. Mereka enggak punya kuasa melebihi manusia. Yang katanya berbahaya kayak singa atau hiu aja nyatanya mulai langka karena diburu atau lingkungannya dicemari. Bener-bener engga adil buat mereka.”
Wulan mengangguk setuju. “Kalau kamu engga tertarik jadi dokter hewan buat peliharaan atau ternak, engga mau coba jadi dokter hewan di kebun binatang aja? Kalau di kebun binatang, kamu bisa bantu menjaga hewan langka dari kepunahan kan?”
Aku terdiam sebentar. Belum pernah terpikirkan kemungkinan ini di benak pikiranku sebelumnya. “Tapi aku rawat hewan peliharaan saja engga becus, bukannya tanggungjawab rawat harimau gitu lebih besar ya? Takutnya mereka ikutan…”
“Hush!” Wulan menyela. “Kamu aja belum belajar jadi dokter hewan yang bener malah kepikiran kayak begini. Inget kataku, kalau kamu ngelakuin yang kamu suka, pasti hasilnya adalah yang terbaik. Jadi astronot juga lumayan bahaya, tapi karena aku suka aku engga mau menyerah. Kamu juga harus semangat dong!”
Aku meringis. Tak lama kemudian, Wulan dipanggil karena sudah dijemput. Kini, aku berkutat dengan pemikiranku sendiri sembari menggoreskan penaku di kertas, menuliskan kata demi kata yang pasti. Salah satu kalimat yang bisa dibaca; Mau jadi apa saat kamu dewasa? Dokter hewan.
Agnes Anindya
Senin, 20 September 2021
Mau Jadi Apa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri yang Diunggulkan
PPDB SMPK Santa Maria 2 Malang
Ayo daftar di SMPK Santa Maria 2 Malang dan jadi bagian dari Pandermania!
0 komentar:
Posting Komentar